Teladan Sa’id bin Al–Musayyib, Penghulu Para Tabi’in

Sa’id bin Al–Musayyib memiliki seorang putri yang  sangat cantik. Suatu hari sang khalifah Abdul Malik bin Marwan datang untuk meminang putrinya untuk dinikahkan dengan putranya Al-Walid bin Abdul Malik. Namun Sai’d bin Al-Musayyib menolak lamaran tersebut. Bahkan ia menikahkan putrinya dengan seorang muridnya yang miskin dan yatim bernama Katsir bin Abdul Muthallib bin Abi Wada’ah hanya dengan dua atau tiga dirham. Karena penolakannya itu ia dihukum 60 kali cambuk, disiramkan air dingin ke tubuhnya saat musim dingin dan dipakaikan kepadanya jubah yang terbuat dari wol. Dengarkan kisah sang pemuda yang bercerita tentang rizki yang menghampiri dirinya…

Aku adalah seorang yang selalu duduk bermajelis di Masjid Nabawi untuk menuntut ilmu. Aku selalu duduk di halaqah Sa’id bin Al-Musayyib. Suatu  saat aku pernah absen dari halaqah beliau beberapa hari lamanya, sehingga Sa’id bin Musayyib merasa kehilangan diriku. Beliau khawatir jika aku sakit atau ditimpa sesuatu. Beliau pun bertanya kepada orang-orang di sekitarnya, namun tak ada seorang pun yang tahu tentang keadaan diriku. Setelah beberapa hari, aku kembali hadir di majelisnya. Di akhir pelajaran, beliau menyapa dan mendoakanku lalu bertanya: “Kemana saja engkau wahai Abu Wada’ah?”

Aku menjawab: ’’Istriku meninggal, maka aku sibuk mengurus jenazahnya’’

Ia bertanya: ’’Mengapa engkau tidak memberitahu, hingga kami dapat membantumu?”

Jawabku: ’’Tidak apa-apa, semoga Allah membalas kebaikanmu.

Ketika aku akan bangun dari tempat duduk, beliau memerintahkanku untuk tetap duduk. Setelah semuanya beranjak pergi dari halaqah, beliau pun mendekati saya seraya mengatakan:

“Wahai Abu Wada’ah, apakah engkau belum memikirkan untuk mencari pengganti istrimu?”

Aku menjawab: “Semoga Allah merahmatimu. Siapakah yang bersedia menikahkan putrinya denganku. Aku hanyalah seorang pemuda yatim lagi miskin yang tidak memiliki harta kecuali 2 atau 3 dirham saja.“

Lalu beliau berkata kepadaku: “Aku yang akan menikahkan putriku denganmu.”

Maka aku pun terperanjat, seakan-akan mulutku tak dapat berkata-kata.  Aku bertanya pada beliau:

“Engkau…Apakah engkau bersedia menikahkan putrimu denganku padahal keadaanku seperti ini?”

Beliau menjawab: ”Ya, bila aku melihat seorang yang baik agama dan akhlaknya, maka aku akan menikahkan putriku dengannya. Engkau menurutku adalah orang yang baik agama dan akhlaknya.”

Lalu beliau memanggil beberapa orang di sekitarnya. Setelah mereka datang,  beliau memuji Allah dan bershalawat pada Nabi-Nya lalu menikahkanku dengan putrinya dengan mahar uang dua dirham. Setelah akad nikah selesai, maka aku pun bangkit. Aku seperti orang bingung dan tak dapat mengucapkan kata-kata karena saking gembiranya. Aku pun pulang, ketika itu aku sedang berpuasa hingga aku lupa dengan puasaku.

Aku terus berkata: “Celaka engkau wahai Abu Wada’ah, apa yang baru saja engkau lakukan…dari mana engkau akan mendapatkan uang… kepada siapa engkau akan berhutang?

Hingga tibalah waktu berbuka. Seusai mengerjakan sholat Maghrib, aku menuju meja makan yang hanya terhidang roti dan minyak. Tatkala memulai satu atau dua suap makanan, tiba-tiba terdengar ada orang yang mengetuk pintu rumahku,

Aku pun bertanya: ”Siapa?”

Ia menjawab: “Sa’id”

Aku terkejut, setelah kupikir-pikir tak ada seorangpun yang kukenal selama ini bernama Sa’id kecuali hanya Sa’id bin Al-Musayyib. Ini tak seperti biasanya, karena selama 40 tahun beliau hanya berada antara rumah dan masjid saja. Hingga aku berpikir panjang, barangkali beliau berkeinginan untuk membatalkan akad pernikahan tadi siang, lalu aku berkata:

“Wahai Abu Muhammad, mengapa engkau tidak mengutus orang untuk memberitahuku agar aku mendatangimu?”

Beliau menjawab: “Tidak, bahkan hari ini engkau lebik berhak untuk aku datangi.

Aku katakan: “Kalau begitu silahkan masuk!”

Beliau menjawab: “Tidak, aku hanya ingin menyampaikan sesuatu.”

Saya katakan: “Semoga Allah merahmatimu, apa itu?”

Beliau menjawab: “Sesungguhnya putriku sekarang telah sah menjadi istrimu dengan syariat Allah. Akupun mengetahui bahwa tak ada seorang pun yang dapat menghibur kesedihanmu. Aku tidak ingin engkau bermalam sendirian  dan istrimu pun bermalam sendirian, maka aku mengantarkan putriku untukmu”

Lalu aku menoleh, ternyata ia telah berdiri di belakang beliau. Lalu beliau memerintahkan putrinya:

“Wahai putriku, sekarang masuklah engkau ke rumah suamimu!”

Maka tatkala dia hendak melangkah seakan-akan kain bajunya mengikat kakinya, karena rasa malu. Hampir saja ia terjatuh, sedangkan aku….aku hanya berdiri tercengang tidak tahu apa yang akan aku katakan. Lalu aku mendahului masuk dan menghampiri meja makan untuk memindahkan hidanganku ke tempat yang gelap, agar istriku tidak melihatnya. Kemudian dengan penuh kegembiraan aku naik ke atas loteng seraya memanggil para tetangga,

“Kemarilah….kemarilah! Sa’id telah menikahkanku dengan putrinya di masjid. Sekarang ia telah datang ke rumahku maka kemarilah dan temanilah ia, karena aku akan menjemput ibuku d idesa sebelah”

Maka datanglah seorang nenek dengan nada keheranan “Celaka engkau, apa yang telah engkau ucapkan, apakah Sa’id telah menikahkan putrinya denganmu lalu memboyongnya datang ke rumahmu….padahal kemarin ia menolak pinangan Al Walid bin Abdul Malik!”

Aku menjawab: “Benar, kemarilah dan lihatlah sekarang ia berada di rumahku”

Maka beberapa tetanggaku pun datang seakan-akan tidak percaya, kemudian mereka mendoakanku dan mengobrol bersama istriku. Tak lama kemudian ibuku datang. Tatkala ia melihat kecantikan istriku, ibu memandangiku seraya berkata:

“Aku tidak akan berbicara denganmu sebelum aku membawa istrimu pulang dan tinggal bersamaku beberapa hari. Setelah itu aku akan menyerahkannya padamu”’

Aku berkata: “Silahkan, lakukanlah apa yang ibu mau”

Setelah berlalu tiga hari, ibu pun datang menyerahkan istriku. Ternyata ia adalah wanita yang paling cantik di Madinah, paling hafal Al-Qur’an, paling  faham terhadap hadits-hadits Rasulullah dan wanita yang paling banyak mengerti hak-hak suami. Lalu aku pun tinggal bersamanya beberapa hari, lalu aku kembali menghadiri majlis ayahnya. Aku mengucapkan salam pada beliau dan beliau pun menjawab salamku. Tatkala pelajaran telah selesai dan semua manusia telah beranjak pergi. Beliau bertanya padaku:

“Bagaimana keadaaan istrimu wahai Abu Wada’ah?”

Aku menjawab: “Sungguh ia adalah sebaik-baik wanita yang dicintai…”

Lalu beliau berkata: “Alhamdulillah.”

Tatkala aku pulang, aku mendapati beliau telah menyiapkan harta yang  banyak untuk mencukupi kebutuhanku dan istriku.

[Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya]

Mutiara hikmah:

  1. Mengenal seorang Ulama Tabi’in yang bernama Sa’id bin Al-Musayyib
  2. Sifat ketawadhuan yang dimiliki oleh Sa’id bin Al-Musayyib
  3. Mengenal nama murid Said bin Al-Musayyib yang bernama Katsir Abu Wada’ah
  4. Allah senantiasa meninggikan derajat seorang penuntut ilmu
  5. Tanda keshalihan seorang hamba adalah pada agama dan akhlakhnya, bukan pada hartanya
  6. Kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anaknya
  7. Orang tua mempunyai tanggung jawab untuk mencarikan pasangan yang shalih untuk anak-anaknya

Sumber: Kisah-kisah Keteladanan, Kepahlawanan, Kejujuran, Kesabaran, Menggugah , Serta Penuh dengan Hikmah dan Pelajaran Sepanjang Masa. 

Penerbit : Maktabah At-Thufail, Panciro-Gowa (Makassar-Sulsel).

http://almakassari.com/

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *